Minggu, 04 Agustus 2013

Pengadilan : Subyektif ataukah Obyektif ?

KEFAMENANU, KOMPAS.com — Keluarga korban penyerangan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan, Sleman, Yogyakarta, menilai, proses peradilan militer kasus itu hanya bagian dari sandiwara. Oleh karena itu, keluarga akan terus berjuang untuk menuntut agar kasus itu dibawa ke peradilan sipil. 

Viktor Manbait, kakak kandung mendiang Juan Manbait—salah satu korban penembakan—mengatakan kepada Kompas.com, Rabu (31/7/2013), bahwa ia menilai peradilan militer tidak independen dan tidak mampu mengungkap kasus tersebut. 

"Sejak awal, kami keluarga sudah menyangsikan peradilan militer ini akan benar ungkap keadilan hukum atas peristiwa pembantaian itu. Dari dakwaan dan tuntutan proses sidang yang berjalan, jelas sekali bagi kita, bagaimana sandiwara peradilan itu terjadi. Hakim pun tak kalah perannya, bak pengacara untuk para pembantai lewat pertanyaan-pertanyaannya yang tidak sejalan dengan kasus yang disidangkan," ungkap Viktor yang juga salah satu aktivis LSM di TTU ini. 

"Peradilan ini kan jelas ingin mengurangi rasa malu Kopassus karena secara bergerombol dan bersenjata membunuh empat orang yang tak berdaya. Jadi, tak usah heran kalau Si Ucok itu yang ditonjolkan sebagai pengeksekusi. Sederhana saja, jadi dari peradilan militer ini tidak ada apa-apanya sama sekali bagi keluarga," ungkap Viktor. 

Karena itu, lanjut Viktor, pihak keluarga bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) sedang menyusun gugatan intervensi ke peradilan militer, untuk mengungkap fakta-fakta hukum yang tidak diungkapkan dalam peradilan militer itu. 

"Salah satu tuntutan yang akan kita perjuangkan yakni membawa kasus ini ke peradilan sipil karena peradilan militer tidak independen dan tidak mampu mengungkap kasus secara utuh," kata Viktor. 

"Selain itu, kami mendesak Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial menghentikan proses peradilan ini dan membawa peradilan ini ke peradilan sipil. Ini perlu dilakukan agar rasa keadilan dalam hidup bernegara dalam Republik Indonesia tetap dapat dicapai," ucap Viktor.

Dituntut 12 tahun penjara

Sebelumnya diberitakan, persidangan kasus penyerangan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan, Sleman, Rabu (31/7/2013), kembali digelar di Pengadilan Militer II-11, Yogyakarta. Sidang yang dimulai pukul 09.00 itu dilanjutkan dengan agenda utama tuntutan dari oditur militer.

Di dalam persidangan, Oditur Letkol Sus Budiharto menuntut terdakwa 1, yakni Serda Ucok Tigor Simbolon, dengan hukuman 12 tahun penjara. Pelaku eksekusi empat tahanan LP Kelas II B Cebongan, Sleman, itu dinilai oditur telah melanggar dakwaan primer Pasal 340 jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, dan kedua Pasal 103 Ayat (1) jo Ayat (3) ke-3 KUHP Militer.

"Karena itu, saya mohon kepada majelis hakim untuk menjatuhkan hukuman kepada terdakwa 1 Serda Ucok Simbolon dengan hukuman penjara 12 tahun dikurangi masa tahanan dan hukuman tambahan dipecat dari dinas militer," ujar Budiharto dalam sidang di Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta.

Sementara itu, dua terdakwa lainnya, yakni Serda Sugeng Sumaryanto dan Koptu Kodik, masing-masing dituntut 10 tahun dan 8 tahun penjara serta hukuman pemecatan dari dinas militer. Keduanya juga dianggap terbukti melanggar dakwaan primer mengenai pembunuhan berencana dan tentang tidak menaati perintah atasan.

Oditur menilai, perbuatan para terdakwa memenuhi unsur bersama-sama dengan sengaja. Bukti unsur kerja sama ini, menurut Budiharto, salah satunya dilihat dari tindakan Sugeng membantu Ucok memperbaiki senjata AK 47 dan meminjamkan senjatanya yang akhirnya digunakan terdakwa 1 (Serda Ucok Simbolon) untuk menembak Gameliel Yermianto Rohi Riwu alias Ade.

"Terdakwa dua (Sugeng) dan tiga (Kodik) mengetahui penembakan itu, bahkan senjata terdakwa dua digunakan untuk menembak salah satu korban," papar Budiharto.

Dalam amar tuntutan setebal 217 halaman, barang bukti senjata, antara lain tiga pucuk AK 47, dua replika AK 47, dan satu replika pistol Sig Sauer diminta untuk dikembalikan ke Pusat Pendidikan Kopassus. Sementara itu, mobil Toyota Avanza yang digunakan para terdakwa dikembalikan ke pemiliknya, yakni Serda Ucok.

Mendengar tuntutan oditur militer, terdakwa dan tim kuasa hukum menyatakan mengajukan nota pembelaan. Sidang dengan agenda pembacaan pledoi akan dilanjutkan pada Rabu (14/8/2013).




ANALISIS

Kasus Cebongan merupakan kasus yang belakangan ini sering ramai dibicarakan oleh masyarakat. Kasus penyerangan ini dinilai merupakan sebuah aksi kekerasan bersenjata yang dilakukan oleh 12 orang anggota kopassus dan menyebabkan jatuhnya korban sebanyak 4 tahanan. Motif penyerangan ini diyakini adalah sebagai aksi balas dendam akibat dari penbunuhan Serka Heru Santoso di Yogyakarta pada tanggal 19 Maret 2013, dan 3 hari kemudian, mereka menyerang lapas Cebongan di Sleman serta membunuh 4 orang yang diketahui merupakan tersangka pembunuhan Serka Heru Santoso. Hal ini cukup menyentak bagi khalayak umum terutama bagi kalangan TNI dan kopassus, hal ini bisa membuat image dari lembaga pertahanan NKRI tersebut menjadi buruk di mata masyarakat.  

Namun kali ini saya lebih ingin membahas mengenai kelanjutan dari proses hukum para tersangka. Di kasus ini, diungkapkan bahwa keluarga korban lapas cebongan berpendapat bahwa proses peradilan militer hanyalah sandiwara. Bagi penulis, hal ini cukup menarik dicermati karena ternyata pihak peradilan di negara ini masih dianggap terlalu subyektif dalam menangani suatu kasus sehingga tidak bisa mengungkap fakta-fakta hukum secara adil. Apakah hal ini merupakan suatu budaya di negara hukum seperti Indonesia? Di mana lembaga peradilan tidak bersikap obyektif dalam mengungkap suatu kasus karena mungkin ada tekanan-tekanan yang membebani institusi ini sehingga tidak bisa bersikap adil kepada korban. Faktor-faktor yang bisa membebani suatu lembaga hukum seperti pengadilan ini contohnya yang diyakini oleh keluarga korban cebongan, yaitu menjaga nama baik seseorang atau suatu institusi dalam hal ini kopassus. Bagi penulis, asumsi demikian belum valid, karena belum ada bukti secara langsung, namun alangkahbaiknya apabila institusi hukum bisa bersikap obyektif dalam setiap masalah, maksudnya dalam pemberian suatu keputusan hukum haruslah berdasarkan bukti-bukti yang ada dan tidak bersikap subyektif pada suatu lembaga atau institusi sehingga keluarga korban bisa mendapat keadilan yang menjadi hak mereka. Perlu diingat bahwa tugas utama lembaga pengadilan adalah menegakkan hukum seadil-adilnya, sehingga bagi penulis penyelesaiannya adalah harus melakukan pembenahan internal, baik dari hakim dan perangkatnya sampai mengevaluasi suatu keputusan yang telah dibuat, apabila ditemukan suatu keputusan yang janggal, maka haruslah dilakukan investigasi terhadap penyebab sehingga jatuh keputusan yang janggal tersebut dan apabila terbukti ada penyalahan aturan maka harus ditindak dengan tegas.

Kesimpulannya, sebagai negara yang berdasarkan hukum, hukum harus ditegakkan dengan benar, jika tidak maka perlu dipertanyakan apakah Indonesia merupakan negara yang sadar hukum, ataukah hanya sadar akan kekuasaan dan kehormatan semata. //

1 komentar: