Minggu, 03 November 2013

"Kalau Mau Menang, Apa Harus Main Uang ?"

Siapa tidak kenal Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ? Wakil Gubernur DKI Jakarta yang satu ini pasti sudah terkenal bersama duetnya Jokowi yang sedikit demi sedikit mulai membenahi rumitnya birokrasi dan permasalahan di Jakarta. Dalam posting kali ini, penulis ingin menanggapi film dokumenter yang sudah meraih banyak penghargaan dengan judul “ Fight Like Ahok” yang memuat kisah perjuangan Ahok dari awal karir sampai menjadi wakil gubernur DKI Jakarta.
Diawali dengan kata-kata di awal video yaitu “kalau mau menang, apa harus main uang?” Hal yang cukup mengesankan di mana ketika beliau berkampanye, hanya sedikit melakukan pengeluaran. Pada saat pemilukada, Ia tidak memasang billboard ataupun spanduk-spanduk besar. Namun hanya berkeliling Bangka dan mengajak dialog dengan warga setempat yang diselingi sedikit maksud politis. Namun, dengan begitu ia mampu mematahkan segala prediksi dan hasil survey dan akhirnya mampu menduduki  kursi DPR yang kemudian merupakan batu loncatannya untuk mencapai kursi DKI 2.
Diawali dari keprihatinan banyaknya pengaruh uang di sistem demokrasi kita, Ahok merupakan pelopor dalam kampanye yang sehat. Tidak memerlukan banyak biaya, revolusioner, cerdik dalam melakukan kampanye misalnya pada saat ditanya oleh sekelompok pemuda, beliau menyatakan bahwa jika akan berkampanye justru di tempat yang tidak mau memilihnya, akan percuma jika kampanye di tempat di mana orang sudah mengenal kualitas ahok. Di sisi lain, Ahok juga merupakan sosok pemimpin yang tidak takut akan isu SARA. Meskipun beliau beragama kristen dan merupakan keturunan cina, tidak  berarti ia mengabaikan penduduk yang berbeda agama dan etnis darinya. Bahkan ia melakukan kunjungan – kunjungan ke daerah – daerah yang mayoritas penduduknya merupakan agama islam.
Selain hal-hal tadi, Ahok juga menerapkan sistem SMS yang menurut saya, membuat dirinya semakin disegani sebagai pemimpin yang mau dekat dengan rakyat. Ketika seseorang mengirim sms ke Ahok dan hendak bertemu, beliau tidak segan menghampiri anda bahkan sampai ke daerah pinggiran. Hal – hal inilah yang membuat elektabilitas nya meningkat. Meskipun masih ada juga dan tidak sedikit orang yang tidak menyukainya, namun pada akhirnya beliau mampu membuktikan bahwa beliau benar dan berhak merebut jatah kursi di DPR bahkan sampai ke kursi DKI 2. Saat ini pun, saya masih melihat sosok revolusioner ahok yang bersama dengan jokowi membenahi jakarta. Seperti penertiban PKL di jalan raya, ‘blusukan’ ke kampung – kampung, berusaha bersikap transparan dalam sistem ekonomi dan melakukan inspeksi ke badan – badan pemerintahan serta menindak tegas segala bentuk indisipliner. Semoga dengan adanya teladan dari Ahok ini bisa menginspirasi anak – anak muda dan pemimpin-pemimpin di bangsa ini.

Kamis, 29 Agustus 2013

Alasan Orang Kaya RI Simpan Dana Triliunan di Singapura

Alasan Orang Kaya RI Simpan Dana Triliunan di Singapura


JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) Budi Gunadi Sadikin mengatakan, saat ini ada orang kaya Indonesia yang banyak menempatkan dananya di luar negeri, seperti Singapura.

Setidaknya, ada dana sekitar Rp 1.500 triliun mengendap di bank Singapura. "Menurut saya, ini bukan soal layanan perbankan di Indonesia lebih jelek dibanding Singapura, tapi ini lebih karena infrastruktur, hukum, hingga pajak," kata Budi saat membuka konferensi pers Outlook 2013 Bank Mandiri di kantornya, Jakarta, Kamis (29/8/2013).

Budi menambahkan, salah satu faktor yang membuat nasabah percaya menaruh dananya di Singapura adalah faktor keamanan (security). Sebab, dengan kondisi pelemahan ekonomi domestik Indonesia seperti saat ini, menaruh dana di tempat yang aman menjadi satu-satunya pilihan bagi orang kaya.

Padahal, kata Budi, Singapura bukan menjadi satu-satunya negara teraman untuk menaruh dananya. Jika becermin pada sejarah perpolitikan negara di zaman dulu, negara Swiss merupakan negara teraman dan belum pernah terjadi konflik apa pun. 

"Sejak zaman perang dunia pertama dulu, ada negara-negara yang aman dari perpolitikan dunia, misalnya Abu Dhabi, Bahrain, Hongkong, Singapura, hingga Uruguay. Tapi ada satu negara yang tidak pernah dijajah, yaitu Swiss, makanya orang-orang kaya ini menempatkan dananya di sana," jelasnya.

Swiss merupakan negara yang menjadi pusat uang dari berbagai negara di dunia, tidak terkecuali dari Indonesia. "Namun, percayalah, jika negara kita punya landasan hukum yang jelas, infrastruktur baik, uang milik orang kaya tersebut akan balik lagi ke sini (Indonesia)," tambahnya.



Analisis :

Menurut penulis, hal semacam ini merupakan sebuah indikasi bahwa di negara sendiri, landasan konstitusi dan sistem perbankan kita masih kurang tertata dengan baik. Indikasi ini diperkuat dengan adanya pelemahan harga rupiah terhadap dollar amerika yang bisa menyentuh angka Rp 11.000,- . Tidak heran banyak orang kaya menginvestasikan uangnya di negara lain. Seolah-olah adanya ketidakpercayaan dari para investor lokal untuk menyimpan uangnya di bank negara sendiri.

Seperti yang dikatakan Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) Budi Gunadi Sadikin, sebenarnya bukanlah masalah di pelayanan, namun di segi penunjang kegiatan perbankan tersebut. Inilah yang menurut penulis merupakan PR besar pemerintahan di segi ekonomi. Selain besarnya kasus korupsi yang ada, masalah infrastruktur penunjang dan kebijakan-kebijakan pemerintah harus dibuat secara lebih kritis lagi dalam menyikapi berbagai kondisi. Baik untuk masyarakat kelas atas, menengah, maupun bawah.

Solusi terbaik adalah adanya pembenahan dari pemerintah untuk semua aspek, kebijakan perbankan, perpajakan, memberantas kasus korupsi, dan lain sebagainya. Penulis merasa bahwa kebijakan-kebijakan yang dibentuk juga harus berdasarkan kepentingan masyarakat luas, bukan hanya untuk segelintir masyarakat atau bahka untuk kepentingan pemerintah sendiri.

Kamis, 22 Agustus 2013

Bhinneka Tunggal Ika (?)

Ahok Heran Isu SARA Masih Merebak di Ibu Kota


JAKARTA - Tak hanya ramai saat digelarnya Pilkada DKI saja, isu yang menyangkut soal Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) kembali merebak di jajaran pemerintahan Gubernur Joko Widodo, dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). 

Dimana lurah Lenteng Agung yang lulus seleksi lelang jabatan, mendapat penolakan dari warganya karena beragama kristen.

"Wah saya kira kita tidak nanganin dia ditolak, karena dia agamanya beda gitu loh. Nanti lama-lama ditolak gara-gara kamu syiah. Kan repot gitu loh. Jadi tidak bisa tolak karena agama, itu tidak ada urusan. Kalo dia nyolong, dia tidak mau melayani, ya masalah," ujar Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, di Balai Kota Jakarta, Kamis (22/8/2013). 

Mantan Bupati Belitung Timur itu menjelaskan, jika aksi warga Lenteng Agung digeneralisasikan, maka banyak warga Ibu Kota yang menolaknya menjadi Wakil Gubernur.

"Saya di DKI jadi cuma 52,7 persen (perolehan suara Pilkada). Berarti ada 40 persen lebih yang enggak mau saya jadi Wagub. Ya enggak ada urusan, kita cuma taat kontitusi enggak ada konstituen," tegasnya.

Sebelumnya, beberapa warga Lenteng Agung, Jakarta Selatan, sempat menyambangi Balai Kota Jakarta. Mereka meminta Gubernur Jokowi untuk segera mengganti lurah di daerahnya


Analisis : 


Isu SARA ( Suku, Agama, dan Ras ) merupakan suatu hal yang sudah lama berakar di negeri kita. Meskipun memiliki semboyan "Bhinekka Tunggal Ika", namun tampaknya masyarakat lebih melihat perbedaan sebagai sebuah hal yang 'tabu' dan tidak bertoleransi terhadap perbedaan yang ada. Di kutipan berita di atas terlihat jelas bahwa paradigma masyarakat akan SARA tidak pernah ada habisnya. Penulis merasa bahwa penolakan-penolakan yang didasarkan oleh perbedaan agama dalam kasus tersebut terlalu dilebih-lebihkan. Tidak semua orang yang berbeda agama adalah orang yang ‘jahat’, kita haruslah bersikap obyektif apabila menilai seseorang, jangan karena beragama atau bersuku minoritas maka tidak berhak untuk ikut berpartisipasi dalam kehidupan bernegara.

Menurut penulis, semua agama itu baik, namun terkadang ada konsep yang salah di mana menganggap agamanya sendiri yang paling baik, sementara agama lain bertentangan dan bahkan harus dihacurkan. Pemikiran-pemikiran seperti inilah yang bisa memicu suatu perpecahan dikarenakan hal yang sebenarnya bisa dikatakan sepele. Kesimpulannya, seperti yang Bp. Basuki Tjahaja Purnama katakan tadi, bahwa intinya agama dan urusan politik dan hidup berbangsa dan bernegara sebaiknya tidak dicampurkan. Apabila masyarakat mampu menghargai perbedaan, masyarakat juga mampu memupuk persatuan sehingga dapat memajukan bangsa ini. 

Sabtu, 17 Agustus 2013

Kemerdekaan yang Terlupakan

Pulau terluar Aceh yang terlupakan di hari kemerdekaan 


DUA pulau terluar di Simeulue terlupakan jelang peringatan hari kemerdekaan Indonesia pada Sabtu, 17 Agustus 2013. Di daerah terluar itu sama sekali tidak ada bendera Merah Putih yang dikibarkan. Kedua daerah tersebut yaitu Pulau Simeulue Cut Kecamatan Simeulue Cut dan Selaut Besar di Kecamatan Alafan.

"Setahu saya tidak ada bendera Merah Putih yang dikibarkan di pulau itu dan saya benar-benar lupa dan tidak teringat lagi," ujar Camat Kecamatan Simeulue Cut Riswandi kepada ATJEHPOSTcom, Sabtu siang, 17 Agustus 2013.

Informasi yang diterima ATJEHPOSTcom dari Wakil Bupati Hasrul Edyar, pengibaran bendera Merah Putih di dua daerah tersebut masih dalam rencana pembahasan.
"Sedang kita bahas bersama. Di sini ada Dandim, Danlanal, dan Kapolres. Kemarilah kita bahas bersama atau nanti sore kita bahas ya," ujarnya melalui pesan pendek kepada ATJEHPOSTcom, Sabtu.[](bna)



Analisis :

Sebuah berita yang sangat memilukan, di mana ada 2 buah pulau yang tidak “merayakan” hari kemerdekaan yang jatuh pada tanggal 17 Agustus. Menurut penulis, hal ini sangat memprihatikan, di mana daerah-daerah lain sibuk dengan persiapan hari kemerdekaan dengan memasang bendera merah putih di depan rumah atau di kantor-kantor, namun di daerah ini tidak ada satupun bendera merah putih yang terlihat. Apakah ini benar-benar sebuah kesengajaan ? Tidak. Menurut Penulis hal ini disebabkan kurangnya kesadaran masyarakat, bahkan pemerintahnya masih dalam tahap merencanakan mengenai pengibaran bendera merah putih. Seharusnya hal ini sudah tidak perlu dibahas, mengapa tidak dipersiapkan jauh-jauh hari seperti daerah-daerah lain ? . Kembali lagi kita harus mempertanyakan rasa kesadaran berbangsa dan bernegara kita semua. Penulis bahkan dapat menjumpai beberapa rumah yang tidak memasang bendera padahal sudah ada surat pemberitahuan yang beredar.

Kembali persoalannya adalah rasa nasionalisme dalam diri kita, apakah kita bangga berada di Indonesia ini, Negeri di mana kita lahir, tumbuh dan berkembang. Apabila kita tidak bisa belajar mencintai bangsa ini, bisa dianggap tidak tahu diri. Meskipun memang diakui negara kita memiliki banyak persoalan yang rumit, namun sebagai warga negara yang baik kita tetap harus menjunjung rasa nasionalisme.

Akhir kata, Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia yang ke 68. Kita semua berharap kejadian-kejadian seperti dalam berita tadi tidak perlu terjadi lagi dan semoga bangsa Indonesia semakin maju dan mampu memecahkan beragam persoalan yang masih menghantui negeri ini.

Kamis, 08 Agustus 2013

Obral Maaf Pejabat Negara

JAKARTA, KOMPAS.com — Seusai menggelar halalbihalal bersama staf Balaikota dan jajarannya di satuan kerja perangkat daerah (SKPD), Gubernur DKI Jakarta Jokowi akan menyambangi warga Ibu Kota di lima kawasan di Jakarta, di antaranya Tanah Tinggi dan Daan Mogot. Jokowi mengatakan, pemimpin sebagai pelayan masyarakat memiliki banyak kesalahan. 

Oleh karena itu, menurutnya, bukan rakyat yang seharusnya berduyun-duyun mendatangi pemimpin dalam momen Idul Fitri. Justru pemimpin yang harus datang untuk meminta maaf.
"Karena yang banyak salah pemimpin, jadi yang mestinya ke kampung ya pemimpinnya, bukan rakyatnya yang ke kita," ujar pemilik nama lengkap Joko Widodo itu, di Balaikota, Jakarta, Kamis (8/8/2013).
Mantan Wali Kota Surakarta itu lalu menjabarkan bahwa dalam membuat kebijakan dan mengambil keputusan, pemimpin acap kali keliru. Pasalnya, pemimpin yang dimaksud adalah pelayan masyarakat. Oleh karena itu, momen Lebaran juga ingin dirayakannya bersama masyarakat.
"Saya kan bilang mau lebaran bersama warga di kampung," kelakarnya. "Ini mungkin ke Tanah Tinggi, yang dekat aja, dulu," tambahnya


ANALISIS:
Momen lebaran memang selalu menarik banyak perhatian. Mulai dari kebiasaan mudik atau pulang kampung sampai kegiatan-kegiatan pejabat tinggi negara yang sibuk mempersiapkan acara halal bihalal,open house ataupun bagi-bagi sedekah dan lain sebagainya, bahkan juga menyampaikan salam lebaran melalui media-media sosial. Hal semacam ini sudah sangat lumrah dan seperti menjadi budaya setiap kali ada event seperti Idul Fitri ini. Namun, menyimak pernyataan Jokowi yang menyebutkan bahwa pejabat tinggi yang seharusnya meminta maaf menurut penulis merupakan suatu hal yang cukup menarik. Hal ini bisa dilihat dengan besarnya antusiasme masyarakat yang berduyun-duyun menghadiri acara bertemu muka dengan pejabat negara seperti open house yang dilaksanakan oleh beberapa pejabat tinggi atau orang terkemuka di negara ini. 
Menurut penulis, hal ini merupakan sesuatu yang sebenarnya baik, di mana pejabat pemerintah bisa tetap 'mendekatkan diri' pada rakyat dengan berbagai macam bentuk acara dan kegiatan tetapi dengan tetap memperhatikan segala aspek penyelenggaraan. Namun apakah sebenarnya makna inti dari acara-acara tersebut bisa tersampaikan yaitu pejabat mendekatkan diri pada masyarakat sekaligus meminta maaf atas kesalahan-kesalahannya ? Apakah hal ini sudah menjadi sebuah kebiasaan belaka ? Ataukah hanya untuk memperbaiki citra diri di muka masyarakat sehingga memperoleh simpati masyarakat ? Atau memang benar-benar secara tulus untuk meminta maaf akan kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya selama menjabat ? 
Yang jelas apapun motifnya, segala bentuk permintaan maaf itu seharusnya tidak dilakukan di masa mendatang, hendaknya menjadi pribadi yang lebih berhati-hati dalam mengambil segala keputusan, agar keputusan yang dibuat tidak berat sebelah dan tetap mengutamakan kepentingan rakyat. Mereka seharusnya ingat bahwa yang memilih dan membuat mereka bisa menduduki posisi tersebut adalah masyarakat sehingga jangan sampai mereka mengecewakan masyarakat yang memberi kepercayaan pada mereka, sehingga pada akhirnya terwujudlah asas demokrasi "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". // 

Minggu, 04 Agustus 2013

Pengadilan : Subyektif ataukah Obyektif ?

KEFAMENANU, KOMPAS.com — Keluarga korban penyerangan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan, Sleman, Yogyakarta, menilai, proses peradilan militer kasus itu hanya bagian dari sandiwara. Oleh karena itu, keluarga akan terus berjuang untuk menuntut agar kasus itu dibawa ke peradilan sipil. 

Viktor Manbait, kakak kandung mendiang Juan Manbait—salah satu korban penembakan—mengatakan kepada Kompas.com, Rabu (31/7/2013), bahwa ia menilai peradilan militer tidak independen dan tidak mampu mengungkap kasus tersebut. 

"Sejak awal, kami keluarga sudah menyangsikan peradilan militer ini akan benar ungkap keadilan hukum atas peristiwa pembantaian itu. Dari dakwaan dan tuntutan proses sidang yang berjalan, jelas sekali bagi kita, bagaimana sandiwara peradilan itu terjadi. Hakim pun tak kalah perannya, bak pengacara untuk para pembantai lewat pertanyaan-pertanyaannya yang tidak sejalan dengan kasus yang disidangkan," ungkap Viktor yang juga salah satu aktivis LSM di TTU ini. 

"Peradilan ini kan jelas ingin mengurangi rasa malu Kopassus karena secara bergerombol dan bersenjata membunuh empat orang yang tak berdaya. Jadi, tak usah heran kalau Si Ucok itu yang ditonjolkan sebagai pengeksekusi. Sederhana saja, jadi dari peradilan militer ini tidak ada apa-apanya sama sekali bagi keluarga," ungkap Viktor. 

Karena itu, lanjut Viktor, pihak keluarga bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) sedang menyusun gugatan intervensi ke peradilan militer, untuk mengungkap fakta-fakta hukum yang tidak diungkapkan dalam peradilan militer itu. 

"Salah satu tuntutan yang akan kita perjuangkan yakni membawa kasus ini ke peradilan sipil karena peradilan militer tidak independen dan tidak mampu mengungkap kasus secara utuh," kata Viktor. 

"Selain itu, kami mendesak Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial menghentikan proses peradilan ini dan membawa peradilan ini ke peradilan sipil. Ini perlu dilakukan agar rasa keadilan dalam hidup bernegara dalam Republik Indonesia tetap dapat dicapai," ucap Viktor.

Dituntut 12 tahun penjara

Sebelumnya diberitakan, persidangan kasus penyerangan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan, Sleman, Rabu (31/7/2013), kembali digelar di Pengadilan Militer II-11, Yogyakarta. Sidang yang dimulai pukul 09.00 itu dilanjutkan dengan agenda utama tuntutan dari oditur militer.

Di dalam persidangan, Oditur Letkol Sus Budiharto menuntut terdakwa 1, yakni Serda Ucok Tigor Simbolon, dengan hukuman 12 tahun penjara. Pelaku eksekusi empat tahanan LP Kelas II B Cebongan, Sleman, itu dinilai oditur telah melanggar dakwaan primer Pasal 340 jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, dan kedua Pasal 103 Ayat (1) jo Ayat (3) ke-3 KUHP Militer.

"Karena itu, saya mohon kepada majelis hakim untuk menjatuhkan hukuman kepada terdakwa 1 Serda Ucok Simbolon dengan hukuman penjara 12 tahun dikurangi masa tahanan dan hukuman tambahan dipecat dari dinas militer," ujar Budiharto dalam sidang di Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta.

Sementara itu, dua terdakwa lainnya, yakni Serda Sugeng Sumaryanto dan Koptu Kodik, masing-masing dituntut 10 tahun dan 8 tahun penjara serta hukuman pemecatan dari dinas militer. Keduanya juga dianggap terbukti melanggar dakwaan primer mengenai pembunuhan berencana dan tentang tidak menaati perintah atasan.

Oditur menilai, perbuatan para terdakwa memenuhi unsur bersama-sama dengan sengaja. Bukti unsur kerja sama ini, menurut Budiharto, salah satunya dilihat dari tindakan Sugeng membantu Ucok memperbaiki senjata AK 47 dan meminjamkan senjatanya yang akhirnya digunakan terdakwa 1 (Serda Ucok Simbolon) untuk menembak Gameliel Yermianto Rohi Riwu alias Ade.

"Terdakwa dua (Sugeng) dan tiga (Kodik) mengetahui penembakan itu, bahkan senjata terdakwa dua digunakan untuk menembak salah satu korban," papar Budiharto.

Dalam amar tuntutan setebal 217 halaman, barang bukti senjata, antara lain tiga pucuk AK 47, dua replika AK 47, dan satu replika pistol Sig Sauer diminta untuk dikembalikan ke Pusat Pendidikan Kopassus. Sementara itu, mobil Toyota Avanza yang digunakan para terdakwa dikembalikan ke pemiliknya, yakni Serda Ucok.

Mendengar tuntutan oditur militer, terdakwa dan tim kuasa hukum menyatakan mengajukan nota pembelaan. Sidang dengan agenda pembacaan pledoi akan dilanjutkan pada Rabu (14/8/2013).




ANALISIS

Kasus Cebongan merupakan kasus yang belakangan ini sering ramai dibicarakan oleh masyarakat. Kasus penyerangan ini dinilai merupakan sebuah aksi kekerasan bersenjata yang dilakukan oleh 12 orang anggota kopassus dan menyebabkan jatuhnya korban sebanyak 4 tahanan. Motif penyerangan ini diyakini adalah sebagai aksi balas dendam akibat dari penbunuhan Serka Heru Santoso di Yogyakarta pada tanggal 19 Maret 2013, dan 3 hari kemudian, mereka menyerang lapas Cebongan di Sleman serta membunuh 4 orang yang diketahui merupakan tersangka pembunuhan Serka Heru Santoso. Hal ini cukup menyentak bagi khalayak umum terutama bagi kalangan TNI dan kopassus, hal ini bisa membuat image dari lembaga pertahanan NKRI tersebut menjadi buruk di mata masyarakat.  

Namun kali ini saya lebih ingin membahas mengenai kelanjutan dari proses hukum para tersangka. Di kasus ini, diungkapkan bahwa keluarga korban lapas cebongan berpendapat bahwa proses peradilan militer hanyalah sandiwara. Bagi penulis, hal ini cukup menarik dicermati karena ternyata pihak peradilan di negara ini masih dianggap terlalu subyektif dalam menangani suatu kasus sehingga tidak bisa mengungkap fakta-fakta hukum secara adil. Apakah hal ini merupakan suatu budaya di negara hukum seperti Indonesia? Di mana lembaga peradilan tidak bersikap obyektif dalam mengungkap suatu kasus karena mungkin ada tekanan-tekanan yang membebani institusi ini sehingga tidak bisa bersikap adil kepada korban. Faktor-faktor yang bisa membebani suatu lembaga hukum seperti pengadilan ini contohnya yang diyakini oleh keluarga korban cebongan, yaitu menjaga nama baik seseorang atau suatu institusi dalam hal ini kopassus. Bagi penulis, asumsi demikian belum valid, karena belum ada bukti secara langsung, namun alangkahbaiknya apabila institusi hukum bisa bersikap obyektif dalam setiap masalah, maksudnya dalam pemberian suatu keputusan hukum haruslah berdasarkan bukti-bukti yang ada dan tidak bersikap subyektif pada suatu lembaga atau institusi sehingga keluarga korban bisa mendapat keadilan yang menjadi hak mereka. Perlu diingat bahwa tugas utama lembaga pengadilan adalah menegakkan hukum seadil-adilnya, sehingga bagi penulis penyelesaiannya adalah harus melakukan pembenahan internal, baik dari hakim dan perangkatnya sampai mengevaluasi suatu keputusan yang telah dibuat, apabila ditemukan suatu keputusan yang janggal, maka haruslah dilakukan investigasi terhadap penyebab sehingga jatuh keputusan yang janggal tersebut dan apabila terbukti ada penyalahan aturan maka harus ditindak dengan tegas.

Kesimpulannya, sebagai negara yang berdasarkan hukum, hukum harus ditegakkan dengan benar, jika tidak maka perlu dipertanyakan apakah Indonesia merupakan negara yang sadar hukum, ataukah hanya sadar akan kekuasaan dan kehormatan semata. //